Super Kawaii Cute Cat Kaoani

Selasa, 18 September 2012

Galaksi Cinta

Diposting oleh MAYA AFIFAH di 14.35
 Juni yang ditunggu-tunggu. Saat itu para penghuni Galaksi Cinta akan duduk bergerombol diatas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu lembut. Angin memainkan musik yang menabuh sepi dan kerinduan yang kronis. Mereka lalu bercinta dengan kisah yang sama. Diulang- ulang, tapi tidak pernah mendatangkan rasa bosan.
Ada yang tersenyum sambil membisikkan dendang langka. Lagu yang sudah tak dikenali generasi masa kini. Punah dikunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi  matanya melelehkan air mata. Ia teringat tatapan belahan hatinya.
     Jika engkau cinta, tatapan seperti itu tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mampu kau tukar dengan gunung emas. Tatapan kasih yang tak terbatas. Seolah tak cukup engkau serahkan seluruh hidup. Tatapan yang telah tertinggal oleh waktu, mustahil diulang. 
Sebab, belahan jiwanya terlanjur mengangkasa.
Meninggalkan dia di Galaksi Cinta.
Membiarkannya menunggu tanpa tenggat waktu.
Rasanya, melanjutkan hidup sekadar menghitung mundur menuju hari kematian. Namun, dia rela.
Engkau mengatainya bodoh. Namun, dia rela.
Ada yang menyendiri sambil menatap langit. Baginya, menarik napaspun seolah membuat jiwanya terampas. Rindu yang menyesakkan. Pada titik tertentu seperti mengosongkan paru- paru. No air … no air. Rasa yang sudah begitu renta, tapi tak pernah menjadi kata- kata. Dia kini terlalu tua untuk merangkai kalimat mesra. Bagimu tak ada kata terlambat untuk mencintai, baginya tidak pernah ada waktu untuk mengatakan, “setelah Tuhan, kaulah yang mampu mematikan matahari.
     Dahulu, ketika jiwanya belum terbelah, ketika kebersamaan masih begitu mudah, dia menyemai bibit dalam hati. Begitu asyiknya hingga saat setengah jiwanya pergi, sudah terlambat untuk mematikan tanaman hati ini.
Hingga kini, menunggu baginya tak berarti harus bertemu. Ia melarikkan bait puisi tanpa berharap setengah jiwanya kembali. Kepada temaram petang, dia melengkungkan perasaannya yang berumur selamanya. Terkadang hasratnya menggejolak, menghasutnya untuk melakukan sebuah perjalanan. Meniti jejak di permukaan pelangi. Barangkali, setengah jiwanya berada disana.
Jika waktu adalah kupu- kupu, sudah lelah hatinya melanglai setiap sudut bumi. Sampai waktunya untuk berhenti. Tetap menunggu, namun tak harap unntuk bertemu. Dia menyadari, tidak semua cinta layak diperjuangkan. Maka, yang tertinggal adalah jejak kasih yang mulai memburam. Ia bersihkan setiap debu yang membuat jejak itu tak gemintang. Mencoba bergembira dengan apa yang pernah terjadi. Menyimpannya bagai sekotak perhiasan. Engkau mengatainya sia- sia. Namun, dia tetap cinta.

 
     Sudahlah . . .
     Aku sudah tiadak punya doa untukmu.
     Selesai. Tuhan sudah terlalu baik. Tidak pantas  aku merepotkan Dia terus menerus. Bukankah sudah hampir 20 tahun kau sibukkan aku dengan doa- doa sebelum tidur?
Lanjutkan hidupmu. Namun, aku tak akan meminta izin jika sewaktu- waktu ingin menggambar wajahmu. Aku harap bukan dengan air mata. Aku bossan. Penyiksaan itu sudah menua. Ketika setiap ingatan tentang engkau mengubah keceriaan.
     Aku tak menjanjikan apapun. Tidak, bahwa aku akan melupakanmu atau malah mengabdikan tawamu. Bukankah sejak namamu ada di kepalaku, hampir dua puluh tahun lalu, aku pun tidak pernah berkata apa- apa?
     Langit adalah arenamu, terbanglah. Aku tidak akan berkata apa- apa. Ini bukan sebuah pengorbanan. Sebab, aku memang tak pernah merasa berhak atasmu. Engkau akan selalu menjadi keajaiban bagiku. Bahkan diammu, dulu.
     Terima kasih, karena engkau pernah menangis untukku. Aku tidak pernah bertanya dan engkau membiarkannya sebagai misteri. Mengapa harus berkaca- kaca? Hanya sekali, itu sudah cukup untuk mambangun surga di mimpiku. Engkau tak harus tahu, penjaraku membuat setiap jeda napasku adalah kebuntuan.
     Apa di masa depan, biarkan.
     Bahkan, engkau akan tetap remaja, meskipun usia kita kelah telah menua. Aku yang berdosa. Bahkan, mengingatmu mungkin . . . adalah dosa. Namun, bukankah kau tahu, aku terlahir dengan seragam dosa?
     Ah, aku ingin berbagi mmimpiku dulu. Aku hanya butuh sepotong sore yang tenang, angin sepoi dan helaan pada pucuk- pucuk ilalang. Kita menikmati matahari dan sinarnya yang kelelahan. Namun, mimpi itu tak akan menyata , meskipun aku memiliki surga.
Kematian tidak akan pernah menyatukan. Ini aku, gadis kecil yang engkau tahu dulu. Aku meninggalkan sejatinya diriku pada masa hampir dua puluh tahun lalu. Tidak pernah benar- benar beranjak dari waktu itu. Aku terperangkap, mungkin selamanya.
     Namun, tak perlu kau pikirkan itu. Aku sudah terbiasa dengan ini. Aku tidak akan apa- apa. Tuhan sudah membekaliku dengan baik. Lewat engkau, Dia mungkin menjajahku. Namun, Dia sudah mengguyuriku dengan kesenangan lain. Meskipun aku benar- benar butuh surga untuk menggantikanmu.
Jadi, sudahlah. Aku tidak lagi punya doa buatmu. Waktu punya caranya sendiri melewatkan segala ini.
     Sudahlah, mengepaklah.

    
Apa kabar?
     Bagaimana hidupmu? Kamu tahu, hidupku semakin tidak mudah. Takdir masih mencandaiku. Apa yang kau lakukan sebenarnya? Mengapa kau tetap bergeming di kepalaku dan tak hendak pergi?
     Bukankah sudah kupersilahkan padamu untuk terbang mengawan? Jujur, aku takut. Sepuluh tahun atau dua puluh tahun kedepan aku tak muda lagi. Apa yang kualami nanti?
     Apakah tidak ada perubahan dan dunia menjadi begitu menyesakkan? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, apakah kamu tetap menjejali otakku, seperti juga hampir dua puluh tahun terakhir ini?
     Apa kabarmu hari ini? Masihkah sendu matamu itu? Aku tahu kau tak akan terganti. Sekuat apapun aura kedatangan orang baru pada hidupku, kamu akan selalu menang. Seperti hampir dua puluh tahun ini.
Katakan kepadaku, bagaimana hidup ini mesti kujalani? Kau tanya apakah aku lelah? Ya, aku lelah. Belakangan lebih- lebih. Ketika aku sadar aku tak remaja lagi. Aku menua. Tidak lagi menunggumu, tapi aku benar- benar telah menua. Aku mulai ketakutan karena semakin jauh dari masa kanak- kanak dulu. Semakin jauh dari waktu ketika aku merasa memilikimu, meski aku tak pernah memilikimu.
     Sekarang, tanpa menyalahkan janjimu, aku kehilangan semua kata- katamu. Bahwa aku selamanya bagimu. Bahwa . . . kau mengembalikanku ke masa itu. Tidakkah ku penting bagimu? Pernahkah kau memikirkan sedang apa aku hari ini? Sementara ketika kau mendatangi mimpiku, aku menangis.
     Aku merasakan kehadiranmu, saat itu. Aura hatimu. Senyum surgamu. Bahkan, setelah aku tak lagi berharap untuk bertemu, aku tetap menginginkan auramu. Berharap kamu mampir sejenak di bunga tidurku. Sejenak saja, dan itu sudah cukup membuatku menangis. Setelah dunia ini, kita tetap tak akan menyatu. Lalu, dimana aku bisa menemuimu? Semakin aku merasa pernah memiliki, semakin keras rasanya kehilangan. Jadi, mana yang lebih baik?
     Ini bukan tentangmu, melainkan aku. Kau tahu, tiba- tiba aku mengkhawatirkan masa depanku. Sesuatu yang dulu tidak pernah kupikirkan. Di manakah kau pada masa depanku? Ketika kita telah semakin menua dan lemah. Di manakah kau pada waktu itu? Masihkah kau akan memberikan senyummu?
     Tiba- tiba aku ketakutan dan kehilangan pegangan. Kali pertama setelah begitu jauh langkah kakiku dan aku tak pernah ragu atau berhenti. Tiba- tiba, aku begini rapuh dan berharap kamu ada disini. Menatapku, mengetahui aku. Memahami apa yang di benakku . . . hampir dua puluh tahun itu.
     Masih berhakkah aku menemuimu, meluruhkan segala resahku. Mungkin sudah tidak lagi. Atau, memang tidak pernah aku memiliki hak untuk itu. Yang pasti, aku begitu merindukanmu ... berkeinginan merengkuh tanganmu. Menangis di pelukmu.










    
    

1 komentar:

Posting Komentar

 

MAYA'S LIFE Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review