Juni yang ditunggu-tunggu. Saat itu para penghuni Galaksi
Cinta akan duduk bergerombol diatas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu
lembut. Angin memainkan musik yang menabuh sepi dan kerinduan yang kronis.
Mereka lalu bercinta dengan kisah yang sama. Diulang- ulang, tapi tidak pernah
mendatangkan rasa bosan.
Ada yang tersenyum
sambil membisikkan dendang langka. Lagu yang sudah tak dikenali generasi masa
kini. Punah dikunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya melelehkan air mata. Ia teringat
tatapan belahan hatinya.
Jika engkau cinta, tatapan seperti itu
tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mampu kau tukar dengan gunung emas.
Tatapan kasih yang tak terbatas. Seolah tak cukup engkau serahkan seluruh
hidup. Tatapan yang telah tertinggal oleh waktu, mustahil diulang.
Sebab, belahan jiwanya
terlanjur mengangkasa.
Meninggalkan dia di
Galaksi Cinta.
Membiarkannya menunggu
tanpa tenggat waktu.
Rasanya, melanjutkan
hidup sekadar menghitung mundur menuju hari kematian. Namun, dia rela.
Engkau mengatainya
bodoh. Namun, dia rela.
Ada yang menyendiri sambil menatap langit. Baginya, menarik
napaspun seolah membuat jiwanya terampas. Rindu yang menyesakkan. Pada titik tertentu
seperti mengosongkan paru- paru. No air … no air. Rasa yang sudah begitu renta,
tapi tak pernah menjadi kata- kata. Dia kini terlalu tua untuk merangkai
kalimat mesra. Bagimu tak ada kata terlambat untuk mencintai, baginya tidak
pernah ada waktu untuk mengatakan, “setelah Tuhan, kaulah yang mampu mematikan
matahari.
Dahulu, ketika jiwanya belum terbelah,
ketika kebersamaan masih begitu mudah, dia menyemai bibit dalam hati. Begitu
asyiknya hingga saat setengah jiwanya pergi, sudah terlambat untuk mematikan
tanaman hati ini.
Hingga kini, menunggu baginya tak berarti harus bertemu. Ia
melarikkan bait puisi tanpa berharap setengah jiwanya kembali. Kepada temaram
petang, dia melengkungkan perasaannya yang berumur selamanya. Terkadang
hasratnya menggejolak, menghasutnya untuk melakukan sebuah perjalanan. Meniti
jejak di permukaan pelangi. Barangkali, setengah jiwanya berada disana.
Jika waktu adalah kupu- kupu, sudah lelah hatinya melanglai
setiap sudut bumi. Sampai waktunya untuk berhenti. Tetap menunggu, namun tak
harap unntuk bertemu. Dia menyadari, tidak semua cinta layak diperjuangkan.
Maka, yang tertinggal adalah jejak kasih yang mulai memburam. Ia bersihkan
setiap debu yang membuat jejak itu tak gemintang. Mencoba bergembira dengan apa
yang pernah terjadi. Menyimpannya bagai sekotak perhiasan. Engkau mengatainya
sia- sia. Namun, dia tetap cinta.
Sudahlah . . .
Aku sudah tiadak punya doa untukmu.
Selesai. Tuhan sudah terlalu baik. Tidak
pantas aku merepotkan Dia terus menerus.
Bukankah sudah hampir 20 tahun kau sibukkan aku dengan doa- doa sebelum tidur?
Lanjutkan hidupmu. Namun, aku tak akan meminta izin jika
sewaktu- waktu ingin menggambar wajahmu. Aku harap bukan dengan air mata. Aku
bossan. Penyiksaan itu sudah menua. Ketika setiap ingatan tentang engkau
mengubah keceriaan.
Aku tak menjanjikan apapun. Tidak, bahwa
aku akan melupakanmu atau malah mengabdikan tawamu. Bukankah sejak namamu ada
di kepalaku, hampir dua puluh tahun lalu, aku pun tidak pernah berkata apa-
apa?
Langit adalah arenamu, terbanglah. Aku
tidak akan berkata apa- apa. Ini bukan sebuah pengorbanan. Sebab, aku memang
tak pernah merasa berhak atasmu. Engkau akan selalu menjadi keajaiban bagiku.
Bahkan diammu, dulu.
Terima kasih, karena engkau pernah menangis
untukku. Aku tidak pernah bertanya dan engkau membiarkannya sebagai misteri.
Mengapa harus berkaca- kaca? Hanya sekali, itu sudah cukup untuk mambangun
surga di mimpiku. Engkau tak harus tahu, penjaraku membuat setiap jeda napasku
adalah kebuntuan.
Apa di masa depan, biarkan.
Bahkan, engkau akan tetap remaja, meskipun
usia kita kelah telah menua. Aku yang berdosa. Bahkan, mengingatmu mungkin . .
. adalah dosa. Namun, bukankah kau tahu, aku terlahir dengan seragam dosa?
Ah, aku ingin berbagi mmimpiku dulu. Aku
hanya butuh sepotong sore yang tenang, angin sepoi dan helaan pada pucuk- pucuk
ilalang. Kita menikmati matahari dan sinarnya yang kelelahan. Namun, mimpi itu
tak akan menyata , meskipun aku memiliki surga.
Kematian tidak akan pernah menyatukan. Ini aku, gadis kecil
yang engkau tahu dulu. Aku meninggalkan sejatinya diriku pada masa hampir dua
puluh tahun lalu. Tidak pernah benar- benar beranjak dari waktu itu. Aku
terperangkap, mungkin selamanya.
Namun, tak perlu kau pikirkan itu. Aku sudah
terbiasa dengan ini. Aku tidak akan apa- apa. Tuhan sudah membekaliku dengan
baik. Lewat engkau, Dia mungkin menjajahku. Namun, Dia sudah mengguyuriku
dengan kesenangan lain. Meskipun aku benar- benar butuh surga untuk
menggantikanmu.
Jadi, sudahlah. Aku tidak lagi punya doa buatmu. Waktu
punya caranya sendiri melewatkan segala ini.
Sudahlah, mengepaklah.
Apa kabar?
Bagaimana hidupmu? Kamu tahu, hidupku
semakin tidak mudah. Takdir masih mencandaiku. Apa yang kau lakukan sebenarnya?
Mengapa kau tetap bergeming di kepalaku dan tak hendak pergi?
Bukankah sudah kupersilahkan padamu untuk
terbang mengawan? Jujur, aku takut. Sepuluh tahun atau dua puluh tahun kedepan
aku tak muda lagi. Apa yang kualami nanti?
Apakah tidak ada perubahan dan dunia menjadi
begitu menyesakkan? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, apakah kamu tetap
menjejali otakku, seperti juga hampir dua puluh tahun terakhir ini?
Apa kabarmu hari ini? Masihkah sendu matamu
itu? Aku tahu kau tak akan terganti. Sekuat apapun aura kedatangan orang baru
pada hidupku, kamu akan selalu menang. Seperti hampir dua puluh tahun ini.
Katakan kepadaku,
bagaimana hidup ini mesti kujalani? Kau tanya apakah aku lelah? Ya, aku lelah.
Belakangan lebih- lebih. Ketika aku sadar aku tak remaja lagi. Aku menua. Tidak
lagi menunggumu, tapi aku benar- benar telah menua. Aku mulai ketakutan karena
semakin jauh dari masa kanak- kanak dulu. Semakin jauh dari waktu ketika aku
merasa memilikimu, meski aku tak pernah memilikimu.
Sekarang, tanpa menyalahkan janjimu, aku
kehilangan semua kata- katamu. Bahwa aku selamanya bagimu. Bahwa . . . kau
mengembalikanku ke masa itu. Tidakkah ku penting bagimu? Pernahkah kau
memikirkan sedang apa aku hari ini? Sementara ketika kau mendatangi mimpiku,
aku menangis.
Aku merasakan kehadiranmu, saat itu. Aura
hatimu. Senyum surgamu. Bahkan, setelah aku tak lagi berharap untuk bertemu,
aku tetap menginginkan auramu. Berharap kamu mampir sejenak di bunga tidurku.
Sejenak saja, dan itu sudah cukup membuatku menangis. Setelah dunia ini, kita
tetap tak akan menyatu. Lalu, dimana aku bisa menemuimu? Semakin aku merasa
pernah memiliki, semakin keras rasanya kehilangan. Jadi, mana yang lebih baik?
Ini bukan tentangmu, melainkan aku. Kau
tahu, tiba- tiba aku mengkhawatirkan masa depanku. Sesuatu yang dulu tidak
pernah kupikirkan. Di manakah kau pada masa depanku? Ketika kita telah semakin
menua dan lemah. Di manakah kau pada waktu itu? Masihkah kau akan memberikan
senyummu?
Tiba- tiba aku ketakutan dan kehilangan
pegangan. Kali pertama setelah begitu jauh langkah kakiku dan aku tak pernah
ragu atau berhenti. Tiba- tiba, aku begini rapuh dan berharap kamu ada disini.
Menatapku, mengetahui aku. Memahami apa yang di benakku . . . hampir dua puluh
tahun itu.
Masih berhakkah aku menemuimu, meluruhkan
segala resahku. Mungkin sudah tidak lagi. Atau, memang tidak pernah aku
memiliki hak untuk itu. Yang pasti, aku begitu merindukanmu ... berkeinginan
merengkuh tanganmu. Menangis di pelukmu.
1 komentar:
mayan..
Posting Komentar